Jumat, 13 Juni 2008

Dermaga Masa Lalu (1) Folklore Joko Slewah

Dermaga Masa Lalu (1) Folklore Joko Slewah

Dikisahkan pada suatu hari di kerajaan raksasa hiduplah seorang keluarga misikin yang hidup bahagia, yaitu keluarga Mbok Rondo Dadapan yang bersama dengan anaknya satu-satunya, Joko Slewah. Hal ini dikarenakan ada keanehan pada diri Joko Slewah, yaitu hanya memiliki satu sisi muka saja. (Tempat keidiaman Mbok Rondo Dadapan sekarang menjadi alas/ hutan Dadapan,Tw, Kra). Joko Slewah. Pada saat itu raja raksasa, Prabu Boko sangat bijaksana mengatur rakyatnya, sehingga banyak rakyat yang mengirimkan upeti kepada raja berupa hasil bumi yang melimpah. Namun, pada suatu hari Sang Raja mendapati sup yang dihidangkan terasa sangat nikmat. Lalu dipanggilnya sang koki pembuat sup tadi, dengan perasaan yang takut sang koki menghadap Prabu Boko.
“Wahai abdi negaraku, bumbu apa yang menjadikan Sup buatan kamu hari ini lain dari pada yang lain?”
“Ampun Baginda Raja, kami tidak menggunakan bumbu khusus. Kami membuatnya seperti biasanya.” Jawab Koki kerajaan takut.
“Hemmmm…. Namun aku mendapati daging yang sangat enak. Coba ceritakan daging apa yang kau berikan ke dalam sup tadi!”. Kata Prabu Boko tegas..
“ Ampun Baginda, Beribu-ribu ampun Baginda, secara tidak sengaja sewaktu saya memasak jari tangan saya ada yang kepotong dan masuk ke dalam sup yang kami buat. Ampun, beribu ampun baginda.” Kata Koki kerjaan gementar ketakutan.
Namun wajah Prabu Boko sedikitpun tidak merasa marah, namun seketika tampak kebahagiaan mengetahui hal itu. Kemudian dia memerintahkan rakyatnya untuk memberikan “Jatah” atau upeti setiap hari satu orang untuk dibuat makanan kesukaan Prabu Boko yang baru. Hal ini membuat seluruh wilayah kekuasaannya gempar, namun tidak ada satupun rakyat yang berani melawan perintah Prabu Boko.
Tidak terasa, kini giliran Mbok Rondo Dadapan harus memberikan upeti kepada Prabu Boko. Mbok Rondo Dadapan merasa kebingungan, siapa yang harus dikorbankan, apakah dirinya atau semata wayangnya. Apabila yang dikorbankan dirinya, anaknya akan hidup sendiri dan belum dapat mencari makan sendiri meskipun tiap hari membantunya buruh “ani-ani dan awul-awul” (memotong padi dan mencari batang padi yang jatuh setelah panen) serta mencari kayu bakar di Hutan. Tetapi, apabila yang diberikan anaknya, tidak ada lagi keturuanan yang melanjutkan kehidupannya yang otomatis hati Mbok Rondo Dadapan akan kesepian.
Di suatu malam, Mbok Rondo Dadapan kebingungan dan berlari-lari kebingungan, tanpa disadari muncul cahaya putih menyilakukan berhenti di depannya.
“Pulanglah! aku akan membantumu, benar aku akan membantumu.” Cahaya itu mengeluarkan suara dan memerintakan mbok Rondo Dadapan supaya pulang. (Desa itu kemudian sekarang dikenal dengan desa Bener, sebelah barat hutan Dadapan).
Mbok Rondo Dadapan pulang dengan hati yang tenang, namun keesokan harinya tidak ada perubahan apa-apa. Mbok Rondo Dadapan pergi untuk buruh “awul-awul” dengan perasaan gudah, sampai senja mbok rondo masih bingung sebab tidak mendapatkan sehelai batang padi pun, Mbok Rondo Dadapan bingung apa yang akan diberikan pada anaknya sampai senja belum mendapatkan apapun. Namun ditengah kegelisahannya cahaya menyilaukan itu muncul lagi.
“Kamu tidak usah bingung, aku akan memberimu makan dan membantumu untuk keluar dari permasalahanmu, pergilah kearah barat laut, disana ada “Pringsedapur” bawalah anakmu kesana”. Cahaya itu tiba-tiba menghilang.
Dengan perasaan yang takut mbok rondo pulang, namun sesampai di rumah “tenggok” (keranjang yang terbuat dari ayaman bambu) sudah berisi beras yan lebih dai cukup untuk makan malam. Setelah makan malam, Mbok Rondo Dadapan mengajak ke arah barat laut seperti yang diperintahkan tadi. Sesampainya di tempat itu terdapat “Pringsedapur” yang terdapat kaca, kemudian Joko Slewah dihadapkan pada cermin tersebut, seketika wajah yang ada dicermin dan yang dicerminkan menjadi satu. Joko Slewah berubah menjadi sosok pemuda yang gagah dan bisa terbang. tempat ini kemudian lebih dikenal dengan Kacanegara Pringgodani. (Pertapaan Pringgodani).
Setelah itu, keesokan harinya sesuai dengan waktu penyerahan upeti, Joko Slewah meminta ijin kepada Mbok Rondo Dadapan untuk menghadap Prabu Boko yang terkenal sangat kejam pada rakyatnya.
“Wahai Pemuda!! Apakah kamu tidak kasihan tubuhmu untuk dijadikan sup?” Tanya Prabu Boko senang mendapat jatah upeti pemuda yang sehat, kuat dan segar.
“Wahai Baginda Prabu Boko, berhentilah untuk memakan rakyatmu sendiri. Berhentilah berbuat kejam pada manusia lemah!” kata Joko Slewah Lantang.
Prabu Boko terlihat murka, wajahnya memerah, seketika daranya naik pitam. Di injaknya Joko Slewah, namun dengan gesit Jojo Slewah menghindar dan terbang.
Melihat hal itu, Prabu Boko semakin marah, Kerjaannya bergetar oleh hentakan kakinya. Saat Prabu Boko tidak siap dipegang kepala Prabu Boko dan benturkan pada batu “panjatan” (tempat tumpuan Joko Slewah meloncat) sampai pecah (tempat ini kemudian dikenal dengan Desa Pancot, pada Wuku Mondhosiyo diadakan upacara adat). Angkara murakpun sirna. Namun sebelum meninggal, Prabu Boko meminta maaf kepada rakyatnya atas segala kesalahan selama ini, kemudian dengan balasan Prabu Boko menjadikan daerah situ daerah yang subur. Otanya menjadi gamping di Gunung gamping, Giginya menjadi Bawang putih, Rambutnya menjadi Loncang, dan Kemaluannya mejadi Wortel.
(Cerita ini ada kesamaan dengan cerita Putut Tetuko yang berada Di Desa pancot, sedangkan Cerita ini berkembang di masyarakat Blumbang. Namun sayang generasi muda tidak banyak mengetahui cerita ini. Hanya beberapa orang yang memiliki cerita dan hafal cerita ini…penelitian Revitalisasi Mitos Mondhosiyo sebagai sarana Wisata Budaya 2005).awanceria@yahoo.com

Kamis, 12 Juni 2008

Dermaga yang Dingin

Prabu Brawijaya V
salah satu peninggalan Prabu Brawijaya V, penguasa kerajaan Majapahit terakhir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lawu yang masih eksis di kunjungi dan dirawat dengan biaya individual yaitu pertapaan Pringgodani.
salah satu tempat yang menyimpan nilai sejarah dan folklore yang mulai hilang oleh generasi masyarakat sekitar maupun civitas akademik. selain sebagai tempat yang sering dikunjungi peziarah Pringgodani juga menyimpan folklore yang selama ini belum dilestarikan atau diangkat sebagai salah satu bentuk cerita rakyat yang sekitar.
Pringgodani sebagai tepat sejarah karena sebagai tempat pertapaan Prabu Brawijaya V, yang kemudian dikerjar-kejar Sunan Kalijogo yang kemudian berpindah ke puncak Gunung Lawu, namun sesampai di tebing yang tinggi Sunan kalijaga tidak mampu mengejar kemudian menepakkan kakinya ke dalam sebuah air terjun yang sekarang dikenal dengan sebutan Telaga Wali...
Pringgodani sebagai tempat ziarah, dikarenakan banyak orang yang doanya terkabul disana. kebanyakan dari mereka rela berjalan sejauh kurang lebih 5km. selain itu Pringgodani juga seringkali diartikan sebagi tempat Pring(Bambu) ndandani(memperbaiki) yang memiliki arti kurang lebih sebagai salah satu tempat untuk memperbaiki moral, dan kehidupan orang-orang yang telah putus asa dengan kehidupannya. banyak cerita yang mengisahkan tentang orang-orang yang mampu keluar dari permasalahan dengan bertakziah kesini.
Pringgodani sebagai salah satu misteri folklore tentang cerita rakyat yang berkembang di kawasan kecamatan Tawangmangu. sebuah cerita kehidupan Prabu Boko dan Putut Tetuko, Mbok Rondo Dadapan, dan Kacanegara. Cerita rakyat yang masih meninggalkan kenangan dibeberpa desa, yaitu Dk. Dadapan, Dk. Bener, Ds. Pancot, dan Gunung Gamping yang selama ini seringkali diadakan upacara adat Mondhosiyo.

Sabtu, 07 Juni 2008

Dermaga Yang Terlupakan

Ada, satu tempat yang terlupakan, dan tidak pernah menjadi perhatian pemerintah daerah. padahal memiliki potensi sebagai saran wisata religi dan wisata kuliner, yaitu kawasan grogol, Sukoharjo, Central java.
Ada salah satu makam yang sangat dikramatkan dan memiliki nilai sejarah, yaitu makam Mbah Khasan, atau orang memanggil Kyai Khasan, tepatnya di desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, kabupaten Sukoharjo. Lokasi yang berada di pinggir aliran sungai Bengawan Solo memberikan peranan yang sangat penting pada zaman dahulu. Namun dengan kemajuan zaman seakan tempat itu tenggelam termakan modernisasi yang melupakan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa.
Leluhur sebagai pewaris budaya tidak lagi dihargai, hanya beberapa orang yang masih melestarikan tanpa konsep yang matang sehingga menjadikan tempat-tempat bersejarah dan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan masyrakat tidak dikelola dengan baik akan berdampak hilangnya nilai-nilai budaya yang pernah dijunjung tinggi dalam kehidupan.
awanceria@yahoo.com